Sebulan Tanpa WhatsApp

03:24

6 September 2016 hingga 6 Oktober 2016, saya memutuskan untuk hidup tanpa WA. Awalnya hanya karena WA seringkali membuat error handphone. Tapi akhirnya keterusan  (atau terpaksa diteruskan) menjalani keseharian tanpa WA dalam sebulan.

Sejatinya WA hanyalah alat bantu keseharian kita semua. Hampir semua orang saat ini menjadi pengguna WA. Kehilangan WA menjadi hal yang sangat terasa. Jujur saja, seringkali kita membuat gerakan refleks saat membuat smartphone, langsung menuju WA.

Tapi setelah dijalani ternyata tidak seburuk itu.

Saya merasakan hidup yang lebih tenang sebulan kemarin. Persis yang saya butuhkan, menyendiri dari dunia chatting WA. Tanpa sadar WA terkadang seperti pasar ribut yang berdengung setiap waktu. Grup sana-sini, flooding informasi dimana-mana. (kebnayakan grup wa juga kaliaya. haha). Tanpa kesiapan  dan mood yang baik, semua itu terasa agak menyakitkan.

Orang-orang yang benaar-benar serius ingin menghubungi sebulan kemarin menjangkau dengan cara yang lain. Via Line, komen di Socmed, SMS, iMessage atau bahkan via email. WA hanya salah satu tools, tapi sudah menjadi pilihan utama di masyarakat kita. Sehingga saat WAnya tidak bisa dijangkau, rasanya sudah seperti menghilang dari dunia. Ada yang mencari-cari, ada yang kesal pesannya tidak dibalas (gimana mau dibalas, nyampe juga ngga), ada yang tidak sadar, ada juga yang mengira ganti nomor. Beitulah, sebulan itu sekalian menjadi bulan untuk refleksi diri. Bahkan seorang yang katanya Ekstrovert butuh Gua, Palung, Satelit Angkasa, atau awan untuk bersembunyi.

Kehilangan sesuatu yang selalu ada, terkadang bisa membuat kita melihat kehidupan dari sisi lain.




ps: WA ku sudah bisa yah, tapi masih tanpa notifikasi. Biasanya kulihat kalau tengah malam. Hahaha. Kalau ada yang mau coba hidup tanpa WA, silakan yaaa.. Seru kok.    

You Might Also Like

1 warna seru berkomentar

Flickr Images

Subscribe