HIDUP PERTANIAN!!

10:20

Minggu, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB Bapak H. M. Soeharto meninggal dunia. Beliau tutup usia setelah dirawat sejak 4 Januari 2008 di RSPP pada usia 86 tahun.
Senin, 28 Januari 2008 saat jenazah dibawa menuju Astana Giribangun di Karang Anyar, terjadi fenomena yang luar biasa. Sepanjang perjalanan dari Cendana hingga Astana Giribangun tak henti-hentinya rakyat melambai dan bersimpati untuk sekedar melihat iring-iringan jenazah. Pak Soeharto memang sosok yang penuh dengan kontroversi. Diluar kekhilafan dan kesalahan-kesalahan yang Beliau perbuat, ada satu yang menarik bagi saya. Terlihat, Beliau sangat dicintai oleh rakyat kecil. Alasannya simpel, saat orde baru, hidup rakyat lebih gampang.
Soeharto memang dilahirkan dari keluarga petani, hidupnya semasa kecil kian susah. Mungkin itu yang mendasari Beliau sangat peduli pada nasib para petani. Apalagi, mayoritas rakyat Indonesia adalah bekerja sebagai petani. Baik itu juragan tani atau sekedar buruh tani. Kebijakan-kebijakan Soeharto menghantarkan Indonesia menjadi negara swasembada beras pada tahun 1984. Sebuah prestasi yang gemilang. Namun berselang beberapa tahun kemudian efeknya mulai terasa. Akibat kebijakan-kebijakan pada awal pemerintahan orde baru untuk mencapai swasembada beras, membuat rakyat Indonesia kian memiliki ketergantungan yang besar pada beras. Sampai ada istilah belum makan kalo belum makan nasi!. 1984 yang gemilang seharusnya disikapi dengan lebih bijak.Hama yang sudah beradaptasi dengan varietas unggulan menjadi jauh lebih mengerikan. Ketika menyerang, musnahlah semua. Sedangkan varietas sampingan sudah tidak dikembangkan.
Indonesia yang terkenal subur makmur mengalami krisis pangan dan harus mengimpor bahan makanan dari luar negeri. Seharusnya Indonesia sudah mulai menghilangkan ketergantungannya terhadap nasi dan beras. Agar pun kalau harga beras melambung seperti yang terjadi belakangan ini, rakyat masih bisa makan dengan nyaman. Ironis sekali, ketika beberapa waktu lalu saya melihat berita di televisi ada warga yang “terpaksa” makan nasi jagung karena beras mahal. Warga tersebut memasak nasi jagung lantaran harga jagung jauh lebih murah daripada harga beras, jagung dijual Rp 2.000 per kg. Seharusnya media dan pemerintah juga mencanangkan konversi beras menjadi jagung, gandum, kentang, roti dan bahan pangan lain. Toh negara-negara lain juga tidak makan nasi tetap hidup sehat.
Oleh karena itu, saat ini Indonesia butuh pemimpin yang bisa mengkonversi bahan pangan Indonesia demi terjaminnya ketahanan pangan nasional.Indonesia butuh pemimpin yang memperhatikan pertanian Indonesia agar pertanian Indonesia tumbuh menjadi agroindustry yang mampu menopang perekonomian bangsa. Karena sudah terbukti, ketika seorang pemimpin memperhatikan pertanian bangsanya, maka perekonomiannya menjadi lebih baik. Saat Soeharto, terwujud swasembada beras, saat zaman penjajahan, perkebunan memberikan keuntungan tiada terkira pada para penjajah, belum lagi saat zaman kerajaan, pertanian, perkebunan rempah-rempah, perikanan serta kelautan Indonesia membuat nusantara berjaya ke seantero dunia. Mungkin terlalu berlebihan, tetapi, bukankah benar bahwa kekayaan nusantaralah yang menjadi daya tarik para penjajah. Bangkit pertanian! Bangkit Indonesia! Raih kembali kejayaan nusantara! HIDUP PERTANIAN!!!

You Might Also Like

1 warna seru berkomentar

Flickr Images

Subscribe